Oleh : Rasyid
Muzhar
A.
Pengertian
1.
Kata membentuk
adalah bentuk kata kerja dari kata bentuk, menurut kamus bahasa
Indonesia dapat berarti, rupa atau wujud, atau wujud yang ditampilkan
(tampak), dengan demikian membentuk berarti suatu proses untuk membentuk atau
mewujudkan.
2.
Kata keluarga
berarti 1. ibu dan bapak beserta anak-anaknya, 2. Orang seisi rumah yang
menjadi tanggungan, 3. Kaum kerabat, 4. Satuan kekerabatan yang sangat mendasar
dalam masyarakat. Dari semua arti yang terkandung dalam kata keluarga, yang
paling tepat untuk digunakan dalam makalah ini adalah keluarga dalam arti ibu
bapak dan anak-anaknya.
3.
Kata sakinah
berarti kedamaian, ketenteraman, ketenangan, dan kebahagiaan.
Dari arti masing-masing kata tersebut, kita dapat
mengambil suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan membentuk keluarga sakinah
adalah suatu proses atau usaha untuk mewujudkan rumah tangga yang terdiri dari
ibu bapak dan anak-anak senantiasa dalam kondisi damai, tenteram, tenang dan
bahagia.
Untuk mewujudkan keluarga yang tenteram, damai dan
sejahtera atau keluarga sakinah bukanlah hal yang mudah tetapi tidak juga
sulit, tidak mudah bagi mereka yang
tidak memiliki ilmu pengetahuan tetang bagaimana membangun rumah tangga dan
yang terpenting adalah yang belum memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh
agama dan pemerintah dan tidaklah sulit bagi mereka yang telah memiliki
pengetahuan yang cukup tentang bagaimana membangun suatu rumah tangga dan
tentunya memenuhi syarat-syarat yang telah digariskan agama dan pemerintah.
B.
Dasar Membentuk
Rumah Tangga
1.
Didasari
Ketentuan Agama
Ikatan perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Demikian ditegaskan pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dengan demikian
membentuk rumah tangga tidak bisa mengenyampingkan ketentuan-ketentuan agama
yang diyakini oleh setiap orang yang akan membentuk rumah tangga tersebut.
Setiap agama pasti memberikan anturan-aturan yang menjamin kebahagiaan setiap
pemeluknya, sehingga rumah tangga yang dibangun atas dasar keyakinan kepada
Tuhan dan dijalankan sesuai dengan aturan-aturan agama diyakini akan membuahkan
hasil positif yaitu terbentuknya keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah.
Ketentuan-ketentuan tersebut menyangkut rukun dan syarat
perkawinan, karena dengan tidak terpenuhinya sayarat dan rukun tersebut akan
menyebabkan perkawinan tersebut menjadi tidak sah dan dengan sendiri hukumnya
haram atau terlarang. Tidak ada larangan pernikahan yang berkaitan dengan
kondisi mempelai wanita dan peria. Dan yang perlu diperhatikan adalah kekufuan
antara calon mempelai peria dan calon mempelai wanita, meskipun kekufuan itu
masih banyak diiperdebatkan penerapannya dalam pernikahan.
Agama menentukan bahwa suami dalam rumah tangga diposisikan sebagai
pemimpin, pemimpin bagi isteri dan pemimpin bagi anak-anak yang terlahir akibat
pernikahan tersebut dan lebih luas lagi pemimpin bagi semua anggota keluarga
dalam rumah tangga. Dalam al-qur’an Allah berfirman :
Artinya : kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita... (Annisa : 34)
Untuk menjadi pemimpin yang baik dalam rumah tangga
seorang suami harus memiliki bekal untuk memimpin, bekal untuk memimpin yang harus
dimiliki adalah ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan yang bersumber pada
kaidah-kaidah agama dan ilmu pengetahuan yang bersumber pada kebijakan dan
norma-norma umum yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga dengan bekal ilmu
pengetahuan tersebut, seorang suami diharapkan mampu mejalankan tugas sebagai
pelindung bagi isteri dan segenap anggota keluarga.
Demikian pula halnya bagi seorang isteri, dia diposisikan
sebagai wakil suami dalam rumah tangga dengan tugas dan tanggung jawab yang
sama berat dengan suami. Apabila suami dan isteri bisa bersinergi, berkerja
sama menjalani kehidupan rumah tangga dengan segala resiko, tanggung jawab dan
hak yang juga melekat pada diri masing-masing, maka kehidupan rumah tangga akan
berjalan sebagai mana mestinya.
Bagaimana mustinya suami dan isteri bersinergi dalam sebuah rumah
tangga dapat dilihat pda firman Allah pada surat al-Abaqarah ayat 187 yang
berbunyi :
Artinya : ...mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka...
Pakaian pada manusia, paling sedikit memiliki tiga
fungsi yaitu,
1. Sebagai
pelindung badan dari ekstrimnya cuaca ;
Sumai atau isteri harus bisa saling melindungi dari segala hal yang
berpotensi menyakiti salah satu pihak, baik ancaman itu berbentuk pisik atau
psikis.
2. Menutupi
cacat atau aibnya badan dari penglihatan orang lain
Suami atau isteri harus mampu menutupi keburukan yang ada pada salah satu
pihak, jangan malah terjadi sebaliknya saling membuka aib masing-masing. Dan
yang paling buruk lagi adalah salah satu pihak membuat aib untuk pihak yang
lain.
3. Memperindah
atau mempercantik penampilan
Suami
atau isteri harus mampu memancarkan pesona pribadi yang indah baik secara pisik
maupun psikis dalam artian akhlakul karimah, karena keindahan yang dipancarkan
salah satu pihak akan berdampak indah bagi yang lain yang pada puncaknya akan
memperindah ikatan perkawinan tersebut.
Untuk mewujudkan rumah tangga sakinah mawaddah dan rahmah,
atau kita singkat rumah tangga yang sakinah, suami isteri seyogyanya mampu
mengaktualisasikan fungsi-fungsi tersebut dengan sebaik-baiknya.
2.
Didasari
Ketentuan Pemerintah
Walaupun suatu pernikahan yang dilakukan telah didasari atas
ketentuan-ketentuan yang digariskan agama dalam artian tidak mengikuti
ketentuan-ketuan yang dtetapkan oleh pemerintah (walaupaun mengikuti aturan
pemerintah adalah juga perintah agama), belumlah cukup untuk membangun
suatu rumah tangga yang sakinah dan mawaddah.
Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”, yang berarti bahwa suatu pernikahan akan
diakuai keberadaannya oleh negara apabila dicatatkan pada pejabat yang
berwenang. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan berimplikasi banyak
terhadap kokohnya suatu rumah tangga.
Impilikasi tersebut bisa berupa harta bersama antara suami
dan isteri, hak waris-mewarisi antara anak dan orang tua, demikian juga hak
untuk mendapatkan akta kelahiran yang merupakan akta yang sangat penting dalam
perjalanan hidup seseorang dan dibutuhkan dalam setiap urusan yang berkaitan
dengan kependudukan, pendidikan dan lain sebagainya. Dan yang paling penting
bahwa pencatatan tersebut merupakan bukti fisik dari suatu ikatan perkawinan
yang bisa dijadikan bukti ikatan perkawinan kapanpun dan di manapun suami
isteri tersebut berada.
3.
Didasari
norma-norma yang berlaku di masyarakat
Membentuk rumah tangga yang sakinah dengan didasari
ketentuan-ketentuan agama dan pemerintah
belumlah sampurna jika mengenympingkan norma-norma adat yang berlaku dalam
suatu masyarakat.
Sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat bahwa suatu
pernikahan yang dilakukan didahului atau dibarengi dengan prosesi-prosesi adat
sesuai dengan kebiasaan yang diwariskan para leluhur. Lain daerah lain pula
cara dan jenis prosesi adat yang dilakukan.
Pada masayarakat tertentu, suatu pernikahan biasanya
didahului oleh proses peminangan disertai seserahan atau pemberian dari calon
mempelai peria, demikian juga keluarga mempelai wanita akan membalas seserahan
tersebut dengan menyerahkan barang-barang tertentu sesuai dengan kebiasaan pada
daerah tersebut kepada keluarga mempelai peria.
Di daerah lain, kita juga akan menemukan cara yang
berbeda. Di daerah lombok misalnya, proses pernikahan didahuli proses selarian,
mempelai wanita dibawa ke rumah keluarga atau kerabat mempelai peria tanpa
sepengetahuan keluarga wanita. Bagi keluarga calon mempelai wanita, cara ini
adalah cara yang membanggakan, mereka akan merasa terhormat karena anak
gadisnya diingini oleh seorang peria dan mengambilnya tanpa sepengetahuannya. Mereka akan merasa dilecehkan bila anak gadis
mereka diminta atau dipinang. Demikian pula sebaliknya bagi mempelai peria, dia
akan merasa gagah dan perkasa bila mampu membawa keluar sang gadis tanpa
sepengetahuan keluarga calon mempelai wanita. Walaupun budaya ini tidak terjadi
di seluruh daratan lombok, namun prosesi adat seperi ini masih bisa ditemukan
di sebagian pulau lombok. Bagi daerah lain yang tidak mengenal budaya ini
mungkin saja akan menganggap cara ini adalah cara yang aneh, namun demikianlah
kenyataan yang masih bisa kita temukan di masyarakat, yang menunjukkan bahwa
bangsa Indonesia sangat kaya dengan
budaya yang melengkapi keindahan bumi nusantara.
Jika norma-norma adat yang berlaku di suatu daerah kita
kesampingkan atau kita langgar, maka kita akan dihadapkan oleh sanksi sosial
atau sanksi dari masyarakat dengan cara dan karakter masyarakat itu sendiri.
Hal tersebut tentu akan menggangu upaya pasangan muda untuk membangun rumah
tangga sakinah dalam makna yang lebih luas.
Dengan demikian dapat kita simpulkan, bahwa untuk
membentuk rumah tangga yang sakinah haruslah didasari oleh ketentuan-ketentuan agama dan pemerintah dengan tidak
mengenyampingkan kearifan lokal berupa adat-istiadat
yang berlaku dalam suatu masyarakat.
C.
Putusnya
Perkawinan
Sekilas tidak relevan membahas putusnya perkawinan atau
yang biasa kita kenal dengan istilah perceraian dalam topik pembahasan
membentuk keluarga sakinah. Namun sebagaimana dikemukakan di atas bahwa
keluarga adalah ibu bapak beserta anak-anaknya.
Istilah putusnya perkawinan
adalah istilah yang digunakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dengan maksud perceraian atau dalam fiqh islam disebut furqah
atau berakhirnya ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan perempuan yang
selama ini hidup sebagai suami isteri. Istilah putusnya perkawinan dengan
perceraian harus dibedakan. Putusnya perkawinan menurut istilah fiqh
adalah ba’in yaitu suatu bentuk
perceraian yang suami tidak boleh kembali lagi kepada mantan isterinya kecuali
melaui akad nikah yang baru. Ba’in itu merupakan satu bagian atau bentuk dari
perceraian. Lawan dari bentuk ba’in ini adalah raj’i yaitu perceraian di mana suami
boleh kembali lagi kepada isterinya tanpa harus melalui akad nikah yang baru
selama isteri masih dalam iddah atau masa tunggu. Apabila sampai berakhirnya
masa iddah suami tidak merujuk isterinya, barulah ikatan perkawinan itu
dikatakan putus atau ba’in.
Putusnya perkawinan secara tidak langsung akan berdampak
kepada anak-anaknya, walaupun perceraian itu adalah hal yang tidak dilarang
meskipun dibenci Allah, namun diharapkan jika harus terjadi, perceraian
tersebut tidak berakibat buruk kepada isteri, suami dan juga anak-anaknya.
Sehingga sakinah dalam makna yang lebih luas lagi tidak saja ada ketika isteri
suami dan anak-anaknya berada dalam satu ikatan kekeluargaan, namun sakinah
itupun bisa tercipta ketika mereka tidak lagi dalam satu ikatan kekeluargaan
atau perkawinan. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 229 :
Artinya : Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik...
Untuk mewujudkan
kondisi tersebut, yaitu kondisi keluarga yang harmonis sejahtera lahir dan
bathin, maka pemerintah telah memberikan jalan keluar yang baik yaitu ketika
pernikahan itu akan dilaksanakan hendaknya dicatat oleh pejabat yang ditunjuk
pemerintah yaitu Kepala Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam. Dan jika
harus bercerai, maka percerian tersebut dilakukan melalui prosedur yang benar
yaitu melalui sidang Pengadilan Agama. Sehingga tidak ada pihak yang merasa
tersakiti atau teraniaya karena hak masing-masing dilindungi oleh Negara.
Demikian uraian
ringkas tentang bagaimana membentuk rumah tangga sakinah, semoga bermanfaat dan
terima kasih....
D.
Referensi
- Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama ;
- Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Muanakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Prof. Amir Syarifuddin, Prenada Media, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar