Rabu, 07 November 2012

MEMBENTUK KELUARGA SAKINAH




Oleh : Rasyid Muzhar

A.   Pengertian
1.       Kata membentuk adalah bentuk kata kerja dari kata bentuk, menurut kamus  bahasa  Indonesia dapat berarti, rupa atau wujud, atau wujud yang ditampilkan (tampak), dengan demikian membentuk berarti suatu proses untuk membentuk atau mewujudkan.
2.       Kata keluarga berarti 1. ibu dan bapak beserta anak-anaknya, 2. Orang seisi rumah yang menjadi tanggungan, 3. Kaum kerabat, 4. Satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat. Dari semua arti yang terkandung dalam kata keluarga, yang paling tepat untuk digunakan dalam makalah ini adalah keluarga dalam arti ibu bapak dan anak-anaknya.
3.       Kata sakinah berarti kedamaian, ketenteraman, ketenangan, dan kebahagiaan.

Dari arti masing-masing kata tersebut, kita dapat mengambil suatu pemahaman bahwa yang dimaksud dengan membentuk keluarga sakinah adalah suatu proses atau usaha untuk mewujudkan rumah tangga yang terdiri dari ibu bapak dan anak-anak senantiasa dalam kondisi damai, tenteram, tenang dan bahagia.
Untuk mewujudkan keluarga yang tenteram, damai dan sejahtera atau keluarga sakinah bukanlah hal yang mudah tetapi tidak juga sulit, tidak mudah  bagi mereka yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tetang bagaimana membangun rumah tangga dan yang terpenting adalah yang belum memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dan pemerintah dan tidaklah sulit bagi mereka yang telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana membangun suatu rumah tangga dan tentunya memenuhi syarat-syarat yang telah digariskan agama dan pemerintah.

Rabu, 11 Juli 2012

PERKAWINAN, PERCERAIAN DAN BEBERAPA PERMASLAHANNYA SERTA HUBUNGANNYA DENGAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA


Study Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
A.     Perkawinan
Perkawinan merupakan bentuk kata benda dari kawin, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kawin merupakan kata kerja yang berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristeri, di samping makna tersebut bermakna juga pekerjaan melakukan hubungan kelamin.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dijelaskan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu aqad yang sangat kuat atau miitsaaqan golidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksnakannya merupakan ibadah. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dijelskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jadi yang kita maksud dengan perkawinan di sini adalah pernikahan sebagaimana dimaksud Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.
Selanjutnya dijelaskan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan demikian bagi yang beragama Islam perkawinannya sah apabila dilakukan menurut ketentuan dan tata cara hukum Islam.

Selasa, 10 Juli 2012

PERLAWANAN TERHADAP PUTUSAN VERSTEK

A.     Perlawanan Terhadap Putusan Verstek
Pada tulisan sebelumnya, penulis telah mengemukakan salah satu bentuk putusan yaitu putusan verstek sebagaimana ketentuan pasal 125 HIR/149 RBg serta hal-hal yang terkait dengan proses penjatuhan putusan tersebut.
Seperti telah dijelaskan putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tanpa hadirnya Tergugat dan ketidakhadirannnya itu tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut (default without reason). Putusan verstek ini merupakan pengecualian dari acara persidangan biasa atau acara kontradiktur dan prinsip audi et alteram partem sebagai akibat ketidakhadiran Tergugat atas alasan yang tidak sah. Dalam acara verstek Tergugat dianggap ingkar menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah dan dalam hal ini Tergugat dianggap mengakui sepenuhnya secara murni dan bulat semua dalil gugatan Penggugat. Putusan verstek hanya dapat dijatuhkan dalam hal Tergugat atau para Tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.
Putusan tersebut memang tampak kurang adil bagi Tergugat karena dijatuhkan tanpa kehadirannya, di sisi yang lain penguluran waktu yang dilakukan Tergugat dengan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang jelas juga sangat merugikan Penggugat. Smentara perkara tidak mungkin digantung tanpa akhir yang pasti, dengan kata lain musti segera diselesaikan atau diputus.

Senin, 09 Juli 2012

ACARA VERSTEK DALAM PRAKTEK PERADILAN AGAMA

A.   Pendahuluan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor : 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka, eksistensi Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kahakiman yang telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 menjadi semakin jelas dan kokoh.
Selanjutnya pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Dengan demikian segala ketentuan hukum acara perdata yang berlaku pada Peradilan Umum berlaku pula pada Peradilan Agama selama tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang ditegaskan pada pasal 106 (2) yang berbunyi “semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang  ini”.