Study Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan
A.
Perkawinan
Perkawinan merupakan bentuk kata benda
dari kawin, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kawin merupakan kata kerja
yang berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristeri, di
samping makna tersebut bermakna juga pekerjaan melakukan hubungan kelamin.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dijelaskan
bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu aqad yang sangat
kuat atau miitsaaqan golidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksnakannya
merupakan ibadah. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dijelskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang
peria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Jadi yang kita maksud dengan
perkawinan di sini adalah pernikahan sebagaimana dimaksud Kompilasi Hukum Islam
dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.
Selanjutnya dijelaskan bahwa suatu
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Dengan demikian bagi yang beragama Islam perkawinannya sah
apabila dilakukan menurut ketentuan dan tata cara hukum Islam.
Perkawinan dan perceraian tidak bisa
terpisahkan dengan Pengadilan Agama, karena baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, telah mengatur bahwa sengketa di bidang
perkawinan bagi yang beragama Islam atau yang tuduk pada hukum Islam di
selesaikan di Pengadilan Agama.
A.1. Izin
Poligami
Dalam Islam, sebagaimana firman Allah dalam
surat Al Nisak ayat 3, seorang laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan lebih
dari satu orang dan tidak boleh lebih dari empat orang. Namun pada kenyataannya
kebolehan tersebut banyak disalahmengerti dengan hanya melihat kebolehannya
saja dan mengenyampingkan syarat kebolehan tersebut. Dalam ayat tersebut telah
dijelaskan syarat kebolehannya yaitu bertidak adil, dan jika merasa tidak sanggup
untuk berlaku adil maka sebaiknya menikahi satu orang perempuan saja.
Dalam rangka mengejewantahkan firman Allah
tersebut, maka pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan pasal 3 ayat (2) junto Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur
bahwa seorang laki-laki yang hendak menikahi perempuan lebih dari satu orang,
harus terlebih dahulu mendapatkan izin poligami dari Pengadilan Agama.
Pengadian Agama berdasarkan permohonan akan
memeriksa dan memberikan penetapan apakah pemohon tersebut pantas atau tidak
memiliki isteri lebih dari satu orang. Hal tersebut dilakukan untuk keteraturan
dan menghidari kesewenangan terhadap perempuan serta kesejahteraan anak-anak.
A.2. Izin
Kawin, Dispensasi Kawin dan Wali Adhal
Untuk melangsungkan pernikahan seorang
peria atau wanita diharuskan memenuhi beberapa syarat tertentu, pasal 6 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan syarat-syarat untuk
melangsungkan pernikahan sebagai berikut :
1. Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang
yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua
orang tua
Di sisi lain pasal 7 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 ayat (1) dan (2) berbunyi sebagai berikut :
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak
peria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) dan pihak wanita mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat
(1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak peria atau pihak wanita.
Dari kedua pasal tersebut ada dua hal yang
berhubungan dengan Pengadilan Agama yaitu berkaitan dengan izin kawin dan dispensasi
kawin. Kapan izin kawin dan dispensasi kawin dimintakan ke Pengadilan Agama
?.
Undang-undang hanya mengizinkan kepada peria
untuk menikah sesudah berumur 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun, apabila
ketentuan tersebut belum terpenuhi, maka untuk bisa melangsungkan pernikahan,
terlebih dahulu pihak yang berkepentingan tersebut harus mendapat dispensasi kawin
dari pengadilan. Mengapa dispensasi kawin bukan izin kawin ?. karena yang
bersangkutan belum mencapai batas minimal usia perkawinan yang dibolehkan
Undang-Undang, oleh karena itu untuk melangsungkan pernikahan diperlukan
dispensasi kawin.
Sementara bagi peria yang telah berusia 19
tahun dan wanita telah berusia 16 tahun telah diizinkan untuk melakukan
perkawinan oleh Undang-Undang dengan ketentuan harus mendapat izin dari kedua
orang tua terlebih dahulu, jika izin dari orang tua yang bersangkutan tidak
diperoleh, maka izin tersebut dapat dimintakan ke Pengadilan. Mengapa izin
nikah ?, karena yang bersangkutan telah mencapai batas minimal usia yang
dizinkan Undang-Undang untuk melakukan perkawinan, hanya saja harus mendapat
izin orang tua terlebih dahulu karena belum berusia 21 tahun. Karena izin dari
orang tua tidak ada, maka untuk melangsungkan pernikahan diperlukan izin kawin
dari Pengadilan.
Dengan demikian kita dapat memahami perbedaan
antara izin kawin dengan dispensasi kawin yang dapat diperoleh melalui
tahapan proses presidangan di Pengadilan Agama.
Selain dispensasi kawin dan izin kawin seperti
diuraikan di atas, salah satu syarat pernikahan adalah adanya wali nikah.
Apabila syarat-syarat yang ditentukan
undang-undang dan hukum syara’ telah terpenuhi, tetapi wali nikah dalm
hal ini orang tua mempelai perempuan tidak mau menikahkan dengan alasan-alasan
yang tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan dan syari’at, maka
calon mempelai perempuan dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama
perihal keengganan walinya untuk menikahkan. Keengganan seorang wali untuk
menikhakan anaknya dalam Hukum Materiil Peradilan Agama disebut Wali Adhal.
Berdasarkan permohonan tersebut Pengadilan
Agama akan memberikan penetapan apakah wali pemohon tersebut Adhal atau tidak.
A.3. Penolakan
Perkawinan
Sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah yang ketentuannya diberlakukan untuk luar
jawa dan Madura berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 1954, Pegawai Pencatat
Nikah pada kantor urusan agama bertugas mencatat nikah, talak dan rujuk.
Undangn-Undang tersebut juga menyatakan bahwa Pegawai
Pencatat Nikah sekaligus merupakan pejabat pengawas pelaksanaan pernikahan,
sehingga terhadap para pihak yang bermaksud melangsungkan pernikahan namun
menurut ketentuan Undang-Undang belum memenuhi persyaratan, maka Pegawai
Pencatat Nikah berhak untuk menolak permohonan pernikahan tersebut.
Terhadap penolakan tersebut, sebagaimana
diatur pada pasal 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, para
pihak yang perkawinannya ditolak oleh Pegawai Pencatat Nikah, berhak mengajukan
permohonan ke Pengadilan Agama bagi yang bergama Islam untuk memberikan
keputusan apakah penolakan tersebut dikuatkan atau sebaliknya Pengadilan memerintahkan
supaya perkawinan dilangsungkan.
A.4.
Pencegahan Perkawinan
Terhadap suatu perkawinan apabila tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan,
maka terjadinya perkawinan tersebut dapat dicegah. Pasal 6, 7, 8, dan 9
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur hal-hal yang terkait dengan
syarat-syarat dan larangan perkawinan.
Yang dapat melakukan pencegahan adalah para
keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali,
pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan,
orang-orang yang karena perkawinan masih terikat dengan salah satu dari kedua
belah pihak dapat juga mencegah perkawinan yang baru, misalnya seorang suami
atau isteri dapat mencegah terjadinya perkawinan isteri atau suaminya dengan
orang lain dan yang dapat melakukan pencegahan perkawinan adalah pejabat yang
ditunjuk.
Pencegahan tersebut diajukan ke Pengadilan
Agama dalam daerah hukum di mana perkawinan tersebut akan dilangsungkan dengan
memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.
A.5.
Pembatalan Perkawinan
Apabila perkawinan telah dilangsungkan
dan ternyata perkawinan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
ditentukan, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Beberapa hal yang
menyebabkan perkawinan dapat dibatalkan yaitu :
1. Tidak memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan undang-undang
2. Seseorng yang masih terkikat perkawinan
dengan orang lain.
3. Perkawinan dilagsungkan dimuka pegawai
pencatat nikah yang tidak berwenang, suami isteri berhak mengajukan pembatalan.
4. Perkawinan yang dilangsungkan bukan
dengan wali nikah yang sah atau tanpa disaksikan 2 orang saksi.
5. Perkawinan yang dilangsungkan di bawah
ancaman
6. Perkawinan yang terjadi karena salah
sangka mengenai diri suami atau isteri.
Terhadap beberapa alasan perkawinan dapat
dibatalkan di atas, hak mengajukan pembatalan terhadap perkawinan yang dilangsungkan
di hadapan pegawai pencatat nikah yang salah seperti tersebut pada nomor 3,
gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
menunjukkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat nikah yang tidak
berwenang, hanya saja harus diperbaharui.
Demikian pula halnya dengan perkawinan yang
dilangsungkan karena salah sangka terhadap diri suami atau isteri, apabila
selama 6 bulan setelah melangsungkan perkawinan mereka masih tetap rukun
sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya, maka haknya untuk mengajukan
pembatalan dengan alasan tersebut menjadi batal.
Pembatalan diajukan ke Pengadilan Agama dalam
wilayah di mana perkawinan dilangsungkan atau yang mewilayai tempat tinggal
suami isteri, suami atau isteri.
A.6.
Perjanjian Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Isteri
Sebelum melangsungkan perkawinan, kedua belah
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dengan ketentuan perjanjian tersebut tidak
boleh melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan dan berlaku sejak
dilangsungkannya perkawinan.
Perjanjian tersebut tidak dapat dirubah
kecuali atas persetujuan kedua belah pihak serta tidak merugikan orang ketiga
apabila dalam perjanjian tersebut melibatkan pihak ketiga.
Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam
masyarakat. Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum. Suami sebagai
kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga, oleh karena itu suami
isteri harus memiliki tempat tinggal yang tetap berdasarkan kesepakan suami dan
isteri.
Sebagai suami isteri harus saling cinta
mencintai, hormat menghormati setia serta saling memberi bantuan baik lahir
maupun bathin. Seorang suami wajib melindungi isteri dan menyiapkan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan. Di sisi yang
lain Isteri harus mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Masing-masing suami dan isteri diberi hak dan
dibebani kewajiban. Untuk menjamin berlangsungnya kehidupan berumah tangga yang
baik, maka dituntut kesadaran masing-masing terhadap kewajibannya sebagai suami
atau isteri. Kelalaian terhadap pelaksanaan kewajiban menyebabkan salah satu
pihak baik suami atau isteri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama bagi
yang beragama Islam.
A.7.
Pengesahan Perkawinan/Itsbat Nikah
Yang dimaksud pengesahan nikah atau itsbat
nikah adalah suatu upaya untuk melegalkan suatu perkawinan menurut ketentuan
perundang-undangan melalui proses tahapan persidangan di Pengadilan.
Penjelasan Pasal 49 angka 22 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menjelaskan kewenangan Peradilan Agama
untuk menyatakan sahnya suatu perkawinan yang dilakukan berdasarkan peraturan
lain sebelum disahaknnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Ketentuan pasal tersebut seakan-akan tidak
memberi toleransi terhadap suatu perkawinan yang tidak dicatat oleh Pegawai
Pencatat Nikah setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan. Sehingga
pertanyaannya adalah apa solusi bagi pihak yang karena hal-hal tertentu tidak mencatatkan
pernikahannya pada Kantor Urusan Agama setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut.
Sebagai alternatif solusi dari kebuntuan
tersebut adalah dengan berpedoman pada ketentuan pasal 7 ayat (3) huruf a Kompilasi
Hukum Islam yang berbunyi “adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian”. Maksudnya adalah seseorang yang mau bercerai dan perkawinannya tidak
tercatat pada Kantor Urusan Agama, maka pengadilan Agama terlebih dahulu akan
memeriksa dan memutus secara bersamaan dengan perceraiannya hubungan hukum
antara ke dua belah pihak yaitu ada atau tidaknya hubungan perkawinan.
Lalu bagaimana halnya dengan perkawinan yang
tidak tercatat pada Kantor Urusan Agama setelah berlakunya ketentuan Undang-Undang
Perkawinan, namun tidak bermaksud untuk bercerai. Terhadap kondisi tersebut
kita dapat mengacu pada ketentuan pasal 7 ayat (3) huruf e Kompilasi Hukum
Islam yang berbunyi “perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”.
Dengan demikian bagi pihak-pihak yang karena
suatu hal belum mencatatkan pernikahannya baik sebelum atau sesudah
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dapat
mengajukan permohonan pengesahan nikah atau itsabat nikah ke Pengadilan Agama
yang mewilayahi tempat tinggal mereka untuk mendapatkan penetapan sebagai dasar
untuk mendapatkan buku nikah. Dengan ketentuan bahwa perkawinan tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan.
A.8.
Perkawinan Campuran
Yang dimaksud perkawinan campuran menurut
Udang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dengan
demikian perkawinan yang dilakukan antar suku, agama ataupun adat istiadat,
tidak dalam kategori perkawinan campuran.
Perbedaan suku, agama dan adat istiadat tidak
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan tidak termasuk dalam kategori
perkawinan campuran karena masih tunduk pada peraturan perundang-undangan yang
sama. Namun perlu dicatat bahwa perkawinan yang dilakukan karena perbedaan
agama yang banyak terjadi akhir-akhir ini justru akan menimbulkan masalah sosial
tersendiri karena berhubungan erat dengan hukum dan keyakinan masing-masing
agama. Sebagaimana ketentuan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam “seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang peria yang tidak
beragama Islam”.
Apa hubungan perkawinan campuran dengan
Peradlian Agama ?.
Untuk dapatnya perkawinan campuran dicatat
oleh pejabat yang berwenang, masing masing pihak harus mendapat surat
keterangan dari pihak yang berwenang mencatat perkawinan menurut ketentuan
hukum masing-masing Negara. Kenapa demikian, hal tersebut dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya perkawinan yang melanggar ketentuan hukum negara dari
masing-masing calon mempalai.
Jika pejabat tersebut menolak untuk memberikan
surat keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan (Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam)
akan memberikan keputusan apakah penolakan itu beralasan atau tidak.
A.9.
Harta Benda Dalam Perkawinan
Perlu untuk diketahui bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan adalah menjadi harta bersama. Dengan demikian harta
yang diperoleh sebelum perkawinan seperti harta bawaan yaitu harta yang dibawa
oleh masing-masing suami atau isteri walaupun setelah menikah harta/barang
tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan bersama suami dan isteri. Termasuk juga
dalam katagori harta atau hak pribadi suami atau isiteri yaitu hadiah dan
warisan, kecuali masing-masing suami isteri berdasarkan suatu kesepakatan
menentukan harta-harta tersebut menjadi harta bersama.
Apa kepentingan yang mengharuskan adanya
pembedaan antara harta bersama dan harta peribadi suami atau isteri ?.
Kepentingannya adalah jika terjadi suatu keadaan di mana antara suami isteri
harus bercerai, maka dengan adanya kejelasan antara harta bersama dan harta
pribadi akan memudahkan harta bersama untuk dibagi. Pembagian harta bersama
tersebut diajukan ke Pengadilan Agama bersamaan dengan permohonan atau gugatan
cerai.
Demikian hal-hal yang berkaitan dengan
perkawinan sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Perkawinan
B. Perceraian
Dan Akibatnya
Perceraian merupakan bentuk kata benda dari
kata kerja cerai yang berarti proses, cara, perbuatan menceraikan. Menurut
wikipedia Indonesia perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Dalam Islam
perceraian itu disebut talak, Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan talak
sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan.
Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
bahwa, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan
Pengadilan, sementara pada pasal 115 dijelaskan bahwa perceraian hanya
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan Agama tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Lalu apa yang di
maksud putusnya pernikahan karena perceraian sebagai mana disebutkan pasal 113
huruf b Kompilasi Hukum Islam, apakah yang dimaksud perceraian tersebut
perceraian yang diikrarkan di depan sidang Pengadilan atau perceraian yang
dilakukan suami secara di bawah tangan, padahal perceraian hanya dilakukan di
depan sidang Pengadilan. Sebagai jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah
sebagaimana ditegaskan pasal 114 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi putusnya
perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa
Kompilasi Hukum Islam tidak mengakui adanya perceraian di bawah tangan atau
perceraian yang tidak dilakukan di depan sidang pengadilan, walaupun di tengah
masyarakat hal tersebut masih menjadi dualisme hukum yang masih sulit disingkronkan.
Ketika pasangan suami isteri sudah tidak
mungin rukun lagi membina rumah tangga, dan jika rumah tangga tersebut
diteruskanpun akan berakibat kurang baik bagi kedua belah pihak, maka jalan
terakhir yang menjadi pilihan mereka adalah perceraian. Perceraian dalam Islam
bukanlah hal yang dilarang, meskipun tidak dilarang namun sebisa mungkin
dihindari, karena perceraian adalah sesuatu yang boleh tetapi dibenci oleh
Allah. Demi kepastian hukum, ketika pasangan suami isteri hendak bercerai maka
suami atau isteri mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
Terjadinya perceraian akan mengakibatkan
beberapa hal seperti siapa yang berhak mengasuh anak, tanggung jawab pembiayaan
anak, berapa besar hak mereka terhadap harta bersama dan banyak hal lain
termasuk pembebanan biaya penghidupan bagi bekas isteri terhadap suami.
Selanjutnya akan dibahas tentang akibat-akibat dari perceraian.
B.1.
Kedudukan Anak
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa anak
yang dimaksud di sini adalah anak yang lahir dalam ikatan perkawinan. Anak yang
lahir di luar pernikahan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibunya.
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak
yang dilahirkan oleh isterinya bilamana suami dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan anak tersebut merupakan akibat dari perzinahan. Atas
penyangkalan suami tersebut, Pengadilan dapat memberikan keputusan atas sah
atau tidaknya anak tersebut berdaasarkan permintaan pihak yang berkepentingan.
B.2.
Hak dan Kewajiban Orang Tua dan Anak
Meskipun Orang tua dalam hal ini Bapak dan Ibu
telah bercerai, mereka berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka
demi kepentingan anak itu sendiri sampai anak tersebut menikah atau bisa
berdiri sendiri, apabila ada perselisihan siapa yang musti memelihara anak,
maka Pengadilan Agama akan memberikan keputusan atas gugatan tersebut.
Pada dasarnya, kewajiban nafkah terhadap anak
adalah berada di pundak suami atau bapak bagi anak. Akan tetapi apabila kondisi
Bapak atau suami sudah tidak memungkinkan untuk itu, maka pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul beban biaya pemeliharaan anak tersebut.
Anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau
belum pernah melangsungkan pernikahan berada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama kekuasaan orang tua tersebut tidak dicabut. Kekuasaan orang tua dapat dicabut atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan
saudara kandung yang telah dewasa atau bejabat berwenang berdasarkan keputusan
pengadilan yang disebabkan karena orang tua tersebut melalaikan kewajibannya
terhadap anak dan memiliki perilaku buruk. Walau kekuasan orang tua telah
dicabut berdasarkan putusan pengadilan, orang tua tersebut tetap berkewajiban
untuk memberi biaya pemeliharaan terhadap anak tersebut.
Berdasarkan pasal 45 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, orang tua adalah kuasa yang mewakili kepentingan
anak-anak yang belum dewasa kepada pihak ke tiga maupun di depan pengadilan
tanpa memerlukan surat kuasa dari anak tersebut.
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak
atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia
18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan itu
menghendakinya.
B.3.
Perwalian
Anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau
belum pernah melangsungkan pernikahan yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tuanya, berada di bawah kekuasaan wali. Wali tersebut bertanggung jawab
atas keselamatan pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Wali
dapat ditunjuk oleh satu orang yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia
meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang
saksi. Wali sedapat mungkin diambil dari
keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berfikiran sehat,
adil, jujur dan berkelakuan baik. Berdasarkan pasal 51 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, wali dengan sendirinya menjadi kuasa untuk
bertindak mewakili kepentingan anak yang berada di bawah perwaliannnya
tersebut.
Seseorang yang ditunjuk sebagai wali
berkewajiban untuk mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu. Untuk
melaksanakan tugas tersebut seorang wali wajib membuat daftar harta benda anak
yang di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
perubahan-perubahan yang terjadi pada harta anak tersebut. Sebagaimana orang
tua, walipun tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anak dalam perwaliannya, kecuali kepentingan anak
itu menghendakinya.
Kekuasaan seorang wali dapat dicabut apabila
melalaikan kewajiban terhadap anak dan memiliki perilaku buruk. Apabila kekuasaan
seorang wali dicabut, maka pengadilan dapat menunjuk orang lain sebagai wali.
Seorang wali dapat diwajibkan ganti rugi apabila wali telah menyebabkan
kerugian terhadap harta benda anak yang di bawah kekuasaannnya berdasarkan
tuntutan anak atau keluarga anak tersebut.
C. Penutup
Demikianlah beberapa hal yang berkaitan dengan
perkawinan, perceraian dan beberapa masalahnya serta hubungannya dengan
Pengadilan Agama. Mudah-mudahan urain singkat ini bermanfaat untuk memberikan
sedikit wawasan kepada kita semua tentang kewenangan Peradilan Agama sebagai
solusi penyelesaian masalah terutama yang berhubungan dengan perkawinan dan
percerian.
Tulisan singkat ini saya susun sebagai mendia
pembelajaran bagi diri saya sendiri dengan harapan disamping bermanfaat untuk
saya sendiri juga bermanfaat untuk orang lain.
Atas segala kekurangan dengan rendah hati
mohon dibukakan pintu maaf. Terima kasih...
D.
Referensi
1.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
2.
Pedoman
Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi.
3.
Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama ;
4.
Hukum
Acara Perdata oleh M. Yahya Harahap, SH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar