Jumat, 07 Juni 2013

MELEKATNYA KEKUATAN NE BIS IN IDEM PADA SUATU PUTUSAN



Oleh : Rasyid Muzhar
A.   Pengertian
Sebelum membahas hal-hal yang terkait dengan kondisi-kondisi yang menyebabkan melekat atau tidak melekatnya kekuatan ne bis in idem pada suatu putusan, ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan pengertian putusan dan pengertian ne bis in idem.
A.1. Pengertian Putusan
Menurut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Putusan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Menurut Sudikno Mertokusumo putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaiakan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Sedangkan menurut Andi Hamzah yang dikutif Abdul Manan, putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan masak-masak yang dapat berpentuk putusan tertulis atau lisan.

Dengan demikian dari beberapa pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa putusan Hakim adalah pernyataan yang diucapkan oleh Hakim dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara dalam persidangan pengadilan yang terbuka untuk umum sebagai akhir atau penyelesaian suatu perkara atau sengketa antara para pihak.
A.2. Pengertian Ne Bis In Idem
Ketentuan tentang penerapan asas ne bis in idem tertuang dalam pasal 76 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menurut Laow Dictonary oleh Martin Basiang, ne bis in idem berarti 1. (kasus pidana) suatu perkara yang telah diputus pengadilan dengan putusan yang menjadi tetap tidak dapat dituntut untuk keduakalinya dengan kasus yang sama, kecuali dalam hal peninjauan kembali terhadap keputusan hakim tersebut [vide : WvS ps 76] 2. (kasus perdata) exeptio rei judicatae; penangkisan berdasarkan telah ada putusan dengan kekuatan tetap [vide : BW ps 1917]. Sehingga ne bis in idem berarti bahwa seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi kerna suatu peristiwa atau suatu perbutan yang baginya telah diputus Hakim atau baginya telah diberikan setatus berdasarkan suatu putusan.

Dikemukan oleh Abdul Manan, terhadap hal ini para pakar bebeda pendapat, ada yang berpendapat bahwa ne bis in idem dalam hukum perdata tidak ada, yang ada hanya dalam hukum Pidana. Sementara pakar hukum yang lain mengatakan bahwa nebis in idem dalam hukum perdata tetap ada. Pendapat ke dua berdasarkan uraian di atas dan secara logika lebih bisa diterima, karena apabila semua putusan masih terbuka untuk digugat, masih bisa diadili, maka tidak akan ada kepastian Hukm dalam masyarakat. Di samping itu akan mengakibatkan hilangnya kewibawaan pengadilan.
Jadi yang dikehendaki oleh asas tersebut adalah untuk melindungi seseorang untuk digugat lagi dalam suatu peristiwa atau suatu perbuatan dimana peristiwa atau perbuatan tersebut telah diputus oleh Hakim, sehingga berdasarkan putusan tersebut peristiwa atau perbuatan tersebut telah memiliki setatus yang jelas. Akibatnya adalah gugatan yang diajukan Penggugat yang sudah pernah diputus oleh Pengadilan yang sama, dengan objek sengketa yang sama dan pihak-pihak yang bersengketa juga sama orangnya, adalah dinyatakan tidak dapat diterima.
B.   Melekat atau tidak melekatnya kekuatan Ne bis In Idem
Terhadap suatu perkara yang telah diputus, dan putusan telah berkekuatan hukum tetap, tidak boleh diadili untuk kedua kalinya, demikian pemahaman yang dapat kita ambil dari ketentuan pasal 1917 KUH Perdata. Namun tidak semua putusan Hakim memiliki kekuatan ne bis in idem, atau dengan kata lain tidak semua putusan Hakim tidak bisa diajukan kembali ke pengadilan dengan gugatan yang baru.
Pada garis besarnya ada dua hal yang bisa dijadikan indikator untuk menentukan apakah suatu putusan nantinya akan dikatagorikan putusan yang memiliki kekuatan ne bis in idem atau tidak. Menurut Yahya Harahap, kedua faktor tersebut adalah apakah putusan tersebut bersifat positif atau negatif.
Yang menjadi patokan untuk menentukan apakah suatu putusan bersifat positif atau tidak adalah apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan didasarkan pada materi pokok perkara yang disengketakan yang diikuti oleh amar putusan berupa mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya atau sebagaian saja atau menolak gugatan penggugat seluruhnya. Putusan seperti itu telah menetapkan setatus yang jelas dan pasti mengenai hubungan antara kedua belah pihak berperkara karena secara positif dan pasti telah diputuskan siapa yang berhak atau siapa yang berkewajiban memenuhi suatu prestasi. Putusan yang bersifat positif mengakibatkan perkara yang disengketakan bersifat :
-            litis piniri oppertet
-            melekanya kekuatan ne bis in idem
-            tidak dapat diajukan sebagai perkara keduakalinya kepada pihak yang sama, mengenai objek sengketa yang sama, dengan dalil gugat yang sama, dan dalam hubungan yang sama
-            putusan menjadi alat bukti persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah (irrebuttabable presumption of law)
Sedangkan putusan negatif adalah putusan yang dijatuhkan bertitik tolak dari cacat formil yang melekat pada gugatan dan sama sekali belum menyentuh materi pokok perkara. Hal-hal yang terkait cacat formil tersebut meliputi :
-            gugatan melanggar batas yurisdiksi mengadili baik secara absolut atau relatif
-            gugatan mengandung eror in persona bisa dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consorsium
-            gugatan obscuur libel, dapat berupa dalil gugatan tidak punya dasar hukum, objek gugatan tidak jelas atau petitum gugatan bertentangan dengan dalil gugat
-            surat kuasa tidak sah sehingga gugatan yang ditandatangani kuasa tersebut tidak sah
-            gugatan prematur
-            dan termasuk gugatan telah lampau waktu atau daluwarsa

Apabila gugatan mengandung salah satu cacat formil sebagaimana tersebut di atas, putusan yang dijatuhkan mesti bertitik tolak dari cacat tersebut, sehingga putusan yang dijatuhkan menyatakan tidak berwenang mengadili apabila pada gugatan melekat cacat formil berkenaan dengan kewenangan mengadili atau menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila pada gugatan mengandung cacat formil seperti eror in persona, obscuur libel atau prematur. Akibat selanjutnya adalah daya BHT putusan tersebut tidak mengandung ne bis in idem, tidak memiliki daya kepastian hukum, karena belum menyentuh pokok perkara, tidak mengikat kedua belah pihak, pihak yang berkepentingan berhak mengajukan perkara untuk kedua kalinya dengan cara menghilangkan cacat formil yang melekat pada gugatan semula.
Untu menggambarkan putusan negatif sebagaimana dijelaskan di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh katagori putusan negatif sehingga padanya tidak melekat kekuatan ne bis in idem.

1.   Putusan Pengguguran berdasarkan alasan formil
Apabila penggugat tidak hadir pada hari yang telah ditentukan tanpa alasan yang sah (unreasonable default), maka sesuai ketentuan pasal 148 RBg/124 HIR, gugatan penggugat dinyatakan gugur. Oleh karena putusan itu diambil dengan alasan formil yaitu ketidakhadiran Penggugat yang berarti pula bahwa putusan tersebut bukan mengenai pokok perkara, maka pada putusan tersebut tidak melekat kekuatan ne bis in idem. Dengan demikian Penggugat dapat mengajukan gugatan kembali sebagaimana  ketentuan pasal 148 RBg/124 HIR dengan menghilangkan cacat-cacat formil yang terkandung pada gugatan tersebut, meskipun putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
2.   Putusan atas dasar pencabutan gugatan
Apabila putusan penggugaran sebagaimana diterangkan di atas dapat diajukan kembali sebagai perkara baru, apakah demikian halnya dengan putusan atas dasar pencabutan  dari Penggugat ?. Yahya Harahap, bahwa jawaban dan aturan terhadap masalah ini tidak ditemukan, pedoman yang dianggap rasional dan praktis mengenai permaslahan yang timbul dalam kasus pengajuan kembali gugatan yang telah dicabut adalah dengan melihat dua hal sebabagi berikut.
a.    Pencabutan tanpa persetujuan tergugat. Apabila pencabutan gugatan dilakukan sebelum pemeriksaan pokok perkara di persidangan, maka pencabutan itu tidak harus mendapat persetujuan dari Tergugat. Bahkan Penggugat dapat melakukan pencabutan di luar persidangan dengan bersurat kepada Pengadilan, kalaupun dicabut di dalam persidangan tidak perlu mendapat persetujuan dari Tergugat. Dengan berpedoman pada ketentuan pasal 271 Rv, pencabutan gugatan yang belum diperiksa tidak memerlukan persetujuan dari Penggugat. Karena perkara belum diperiksa, maka kedudukan Tergugat belum diserang hak dan kepentingannya karenanya tidak perlu persetujuan dari tergugat. Terhadap kondisi seperti ini, yaitu pencabutan gugatan tanpa keharusan adanya persetujuan tergugat berakibat penggugat dapat mengajukan kembali gugatannya sebagai perkara baru.
b.    Pencabutan harus dengan persetujuan tergugat. Apabila perkara telah diperiksa di dalam persidangan, maka pencabutan harus dengan persetujuan tergugat. Sehingga pencabutan yang mengharuskan persetujuan tergugat melekat di dalamnya kesepakatan antara kedua belah pihak. Dengan demikian pada kondisi tersebut ketentuan pasal 154 RBg di mana suatu putusan yang didasari kesepakatan antara kedua belah pihak tidak dapat dibanding karena putusan tersebut bersifat final dan mengikat kepada penggugat dan tergugat. Karena bersifat final dan mengikat, sengketa yang terkandung dalam perkara tersebut tidak dapat diajukan kembali oleh para pihak.

C.   Penerapan Ne Bis In Idem Dalam Perkara Perdata Agama
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa secara garis besar untuk menyatakan suatu putusan memiliki kekuatan ne bis in idem atau tidak adalah dengan melihat apakah putusan tersebut merupakan putusan positif atau putusan negatif.  Ketentuan tersebut juga berlaku pada perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Namun disamping kedua hal tersebut, untuk menyatakan suatu gugatan ne bis in idem atau tidak adalah dengan memahami peraturan yang mendasari gugatan tersebut sehingga akan terlihat pengertian, kewenangan, dan akibat hukum dari suatu obyek gugatan, demikian kaidah hukum yang ditegaskan putusan Mahakamah Agung RI Nomor 213 K/TUN/2007.
Dengan demikian dalam perkara perdata agama seperti perceraian yang pernah diajukan ke Pengadilan Agama dengan alasan pertengkaran dan telah diputus ditolak, dengan putusan tersebut setatus sengketa antara kedua belah pihak dengan dalil adanya pertengkaran dalam rumah tangga telah tidak terbukti dan ditolak oleh Pengadilan. Jika merujuk pada putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 tersebut, para pihak yang berkepentingan dapat mengajukan kembali gugatannya ke pengadilan dengan alasan yang lain sebagaimana alasan-alasan yang tertuang pada pasal 19 huruf a sampai dengan f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Apabila alasan lain tidak ada, bolehkah penggugat atau pemohon mengajukan kembali gugatan yang sebelumnya ditolak pengadilan dengan alasan yang sama karena telah adanya bukti ?.
Secara normatif, dengan merujuk penjelasan-penjelasan di atas, maka putusan pengadilan terhadap penolakan tersebut adalah putusan positif karena bertitik tolak dari pokok perkara, karenanya telah memberikan setatus yang jelas terhadap sengketa yang  ada pada perkara tersebut dan melekat kekuatan ne bis in idem. Demikian juga dikemukakan Sudikno Mertokusumo dalam hal penolakan tidak terbuka kesempatan untuk mengajukan gugatan tersebut kepada Hakim yang sama (ne bis in idem). Sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah PK (peninjauan kembali).
Namun pendapat yang mengatakan bahwa ne bis in idem tidak dapat diterapkan pada sengketa perkawinan dengan alasan bahwa pertengkaran dan perselisihan yang menjadi alasan pengajuan perceraian yang pertama adalah pertengkaran dan perselisihan yang tidak sama dengan yang menjadi alasan pengajuan perceraian ke dua, meskipun label sama yaitu pertengaran dan perselisihan, namun tidak sama pertengkaran dan perselisihan yang dulu dengan yang sekarang, sehingga pengajuan kedua kalinya dengan alasan tersebut dapat diterima.
Demikian pula halnya seorang suami yang tidak mengikrarkan talaknya sampai melewati masa waktu 6 bulan, menurut ketentuan pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kekuatan penetapan izin ikrar talak menjadi gugur yang berarti bahwa Pemohon tidak bisa mengikrarkan talaknya lagi. Akibatny adalah pemohon tidak bisa lagi mengajukan permohonan cerai talak dengan alasan yang sama, apabila kehidupan rumah tangga yang bersangkutan tetap tidak berubah dan bermasalah, apakah masih tertutup bagi pemohon untuk mengajukan izin cerai untuk keduakalinya ?
Pendapat tersebut senada dengan rumusan hasil Rakernas Mahkamah Agung RI Bidang Agama tahun 2007 yang menyatakan “dalam perkara sengketa perkawinan termasuk perkara hadhanah, tidak berlaku azas nebis in idem sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110 K/AG/1992 tanggal 24 Juli 1993”
Dalam kasus perdata agama seperti sengketa perkawinan, kita harus melihat dengan bijak, putusan hakim atau pengadilan disamping memenuhi azas kepastian hukum dan keadilan, harus juga mempertimbangkan aspek manfaat dari putusan tersebut, bukan hanya bertitik tolak pada bunyi pasal dan kata Undang-undang, namun harus juga memperhatikan jiwa hukum yang hidup di masyarakat dan aspek sosiologisnya. Tujuan dibuatnya undang-undang adalah untuk melindungi dan memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Setelah berselang waktu setelah putusan penolakan berkekuatan hukum tetap, kehidupan Pemohon dan Termohon masih tetap saja tidak harmonis, dengan pertimbangan aspek manfaat dan sosiologis maka apabila pemohon kembali pengajukan perkara dengan alasan yang sama, maka akan lebih bijak jika permohonan pemohon diterima. Apabila permohonan tersebut tidak diterima dengan alasa ne bis in idem, maka tidak akan membawa kebaikan pada pemohon dan termohon.
Nebis in idem tidak tepat diterapkan dalam kasus perdata agama sebagaimana diuraiakan di atas, karena seiring berjalannya waktu fakta-fakta hukum yang mendasari alasan permohonan tersebutpun berubah dan bertambah. Walaupun alasannya sama, tetapi kesamaan itu terbatas pada nama atau istilah bukan kesamaan dalam peristiwa dan fakta.

D.   Kesimpulan dan Penutup
Ne bis in idem bertujuan melindungi seseorang untuk digugat atau diadili untuk kedua kalinya dalam peristiwa atau suatu perbuatan dimana peristiwa atau perbuatan tersebut telah diputus oleh Hakim, sehingga berdasarkan putusan tersebut peristiwa atau perbuatan tersebut telah memiliki setatus yang jelas.
Untuk menentukan suatu putusan nebis atau tidak, harus melihat apakah putusan tersebut positif atau negatif, di samping itu dengan memahami peraturan yang mendasari gugatan tersebut sehingga akan terlihat pengertian, kewenangan, dan akibat hukum dari suatu obyek gugatan.
Di samping hal tersebut, maksud dan tujuan dibuatnya undang-undang adalah untuk ketertiban dan kebaikan dalam masyarakat dari segala aspeknya. Adalah tugas Hakim untuk menerapkan aturan-aturan tersebut dengan sebijak mungkin bukan hanya bertitik tolak pada bunyi pasal dan kata Undang-undang, melainkan harus juga memperhatikan jiwa hukum yang hidup dalam suatu masyarakat serta aspek sosiologis, sehingga masyarakat mendapatkan yang terbaik. Demikian semoga bermanfaat.
Sebagaimana rumusan hasil Rakernas Mahkamah Agung RI Bidang Agama tahun 2007, dalam perkara sengketa perkawinan termasuk perkara hadhanah, tidak berlaku azas nebis in idem sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110 K/AG/1992 tanggal 24 Juli 1993.

     Kupang, Juni 2013
E.   Referensi
1.   Kamus Besar Bahasa Indonesia offline versi 1.3 oleh Ebta Setiawan tahun 2010-2011
2.   Low Dictionary oleh Martin Basiang, first edition, Tahun 2009
3.   KUHP dan KUHAP oleh Dr. Andi Hamzah, S.H., edisi revisi Tahun 2008
4.   Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama ;
5.   Yurisprudensi Mahkamah Agung RI  tahun 2010
6.   Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi.
7.   Hukum Acara Perdata oleh M. Yahya Harahap, SH.
8.   Hukum Acara Perdata Indonesia, Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
9.   Penerapan Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Agama oleh Dr. H. Abdul Manan, SH., S.IP, M.Hum.

3 komentar:

  1. Para penggugat berdasarkan Akta Pengikatan untuk jual beli Notaris di saat tanah dalam sengketa,dan pihak yang rencana akan menjual kepadanya dalam pengikatan tersebut ternyata kalah dengan pihak lawannya telah di putus berkekuatan hukum tetap oleh KPN sebelumnya.setelah 10 tahun akta notaris tersebut menjadi alat bukti para penggugat untuk menggugat kembali pihak yang menang dalam putrusan sebelumnya tergugat I dan pihak yang kalah menjadi tergugat II terhadap obyek sengketa.
    Bagaimana menentukan dasar hukumnya,dalam gugatan perbuatan melawan hukum

    BalasHapus
  2. Saya ingin bertanya apakah boleh mengajukan gugatan dengan objek yang sama tetapi terhadap orang yang berebeda?
    Contoh : A mengajukan gugatan ke B, dan keluar hasil putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
    Kemudian A mengajukan gugatan ke C (C adalah orang tua dari B), objek gugatannya sama.
    Apakah boleh diajukan gugatan seperti itu?
    Mohon jawabannya, terima kasih

    BalasHapus
  3. saya mau tanya gugatan wanfrestasi setelah jawaban revlik tergugat , pengugat mencabut gugatannya dan sudah dputus ketetapan pengadilan ... dan setelah itu pengugat kembali mendaftar gugatannya dipengadilan yg sama , gugatan yg sama , objek yg sama ... pertanyaan saya apakah pengadilan menerima atau menolak?

    BalasHapus