Oleh : Rasyid Muzhar
A. Pengertian
Sebelum membahas hal-hal yang terkait dengan
kondisi-kondisi yang menyebabkan melekat atau tidak melekatnya kekuatan ne bis
in idem pada suatu putusan, ada baiknya terlebih dahulu dikemukakan pengertian putusan
dan pengertian ne bis in idem.
A.1. Pengertian
Putusan
Menurut KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana) Putusan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Menurut
Sudikno Mertokusumo putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim,
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan
dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaiakan suatu perkara atau sengketa antara
para pihak. Sedangkan menurut Andi Hamzah yang dikutif Abdul Manan, putusan
adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan
dengan masak-masak yang dapat berpentuk putusan tertulis atau lisan.
Dengan demikian dari beberapa pengertian
tersebut dapat kita simpulkan bahwa putusan Hakim adalah pernyataan yang
diucapkan oleh Hakim dalam kapasitasnya sebagai pejabat negara dalam persidangan
pengadilan yang terbuka untuk umum sebagai akhir atau penyelesaian suatu
perkara atau sengketa antara para pihak.
A.2. Pengertian
Ne Bis In Idem
Ketentuan tentang penerapan asas ne bis in
idem tertuang dalam pasal 76 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Menurut Laow Dictonary oleh Martin Basiang, ne bis in idem berarti 1. (kasus pidana) suatu perkara yang
telah diputus pengadilan dengan putusan yang menjadi tetap tidak dapat dituntut
untuk keduakalinya dengan kasus yang sama, kecuali dalam hal peninjauan kembali
terhadap keputusan hakim tersebut [vide :
WvS ps 76] 2. (kasus perdata) exeptio rei judicatae; penangkisan berdasarkan
telah ada putusan dengan kekuatan tetap [vide
: BW ps 1917]. Sehingga ne bis in idem berarti bahwa seseorang tidak boleh
dituntut sekali lagi kerna suatu peristiwa atau suatu perbutan yang baginya telah
diputus Hakim atau baginya telah diberikan setatus berdasarkan suatu putusan.
Dikemukan oleh Abdul Manan, terhadap hal ini para pakar bebeda pendapat, ada yang
berpendapat bahwa ne bis in idem dalam hukum perdata tidak ada, yang ada hanya
dalam hukum Pidana. Sementara pakar hukum yang lain mengatakan bahwa nebis in
idem dalam hukum perdata tetap ada. Pendapat ke dua berdasarkan uraian di atas
dan secara logika lebih bisa diterima, karena apabila semua putusan masih
terbuka untuk digugat, masih bisa diadili, maka tidak akan ada kepastian Hukm
dalam masyarakat. Di samping itu akan mengakibatkan hilangnya kewibawaan
pengadilan.
Jadi yang dikehendaki oleh asas tersebut
adalah untuk melindungi seseorang untuk digugat lagi dalam suatu peristiwa atau
suatu perbuatan dimana peristiwa atau perbuatan tersebut telah diputus oleh
Hakim, sehingga berdasarkan putusan tersebut peristiwa atau perbuatan tersebut
telah memiliki setatus yang jelas. Akibatnya adalah gugatan yang diajukan
Penggugat yang sudah pernah diputus oleh Pengadilan yang sama, dengan objek
sengketa yang sama dan pihak-pihak yang bersengketa juga sama orangnya, adalah
dinyatakan tidak dapat diterima.
B. Melekat
atau tidak melekatnya kekuatan Ne bis In Idem
Terhadap suatu
perkara yang telah diputus, dan putusan telah berkekuatan hukum tetap, tidak
boleh diadili untuk kedua kalinya, demikian pemahaman yang dapat kita ambil
dari ketentuan pasal 1917 KUH Perdata. Namun tidak semua putusan Hakim memiliki
kekuatan ne bis in idem, atau dengan kata lain tidak semua putusan Hakim tidak
bisa diajukan kembali ke pengadilan dengan gugatan yang baru.
Pada garis besarnya
ada dua hal yang bisa dijadikan indikator untuk menentukan apakah suatu putusan
nantinya akan dikatagorikan putusan yang memiliki kekuatan ne bis in idem atau
tidak. Menurut Yahya Harahap, kedua faktor
tersebut adalah apakah putusan tersebut bersifat positif atau negatif.
Yang menjadi patokan untuk menentukan
apakah suatu putusan bersifat positif
atau tidak adalah apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan didasarkan pada
materi pokok perkara yang disengketakan yang diikuti oleh amar putusan berupa
mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya atau sebagaian saja atau menolak
gugatan penggugat seluruhnya. Putusan seperti itu telah menetapkan setatus yang
jelas dan pasti mengenai hubungan antara kedua belah pihak berperkara karena secara
positif dan pasti telah diputuskan siapa yang berhak atau siapa yang
berkewajiban memenuhi suatu prestasi. Putusan yang bersifat positif
mengakibatkan perkara yang disengketakan bersifat :
-
litis piniri oppertet
-
melekanya
kekuatan ne bis in idem
-
tidak
dapat diajukan sebagai perkara keduakalinya kepada pihak yang sama, mengenai
objek sengketa yang sama, dengan dalil gugat yang sama, dan dalam hubungan yang
sama
-
putusan
menjadi alat bukti persangkaan undang-undang yang tidak dapat dibantah (irrebuttabable presumption of law)
Sedangkan putusan negatif adalah putusan yang dijatuhkan bertitik tolak dari cacat
formil yang melekat pada gugatan dan sama sekali belum menyentuh materi pokok
perkara. Hal-hal yang terkait cacat formil tersebut meliputi :
-
gugatan
melanggar batas yurisdiksi mengadili baik secara absolut atau relatif
-
gugatan
mengandung eror in persona bisa dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consorsium
-
gugatan
obscuur libel, dapat berupa dalil
gugatan tidak punya dasar hukum, objek gugatan tidak jelas atau petitum gugatan
bertentangan dengan dalil gugat
-
surat
kuasa tidak sah sehingga gugatan yang ditandatangani kuasa tersebut tidak sah
-
gugatan
prematur
-
dan
termasuk gugatan telah lampau waktu atau daluwarsa
Apabila gugatan mengandung salah satu
cacat formil sebagaimana tersebut di atas, putusan yang dijatuhkan mesti
bertitik tolak dari cacat tersebut, sehingga putusan yang dijatuhkan menyatakan
tidak berwenang mengadili apabila pada gugatan melekat cacat formil berkenaan
dengan kewenangan mengadili atau menyatakan gugatan tidak dapat diterima
apabila pada gugatan mengandung cacat formil seperti eror in persona, obscuur libel atau prematur. Akibat selanjutnya adalah daya BHT putusan tersebut tidak
mengandung ne bis in idem, tidak memiliki daya kepastian hukum, karena belum
menyentuh pokok perkara, tidak mengikat kedua belah pihak, pihak yang
berkepentingan berhak mengajukan perkara untuk kedua kalinya dengan cara
menghilangkan cacat formil yang melekat pada gugatan semula.
Untu menggambarkan putusan negatif
sebagaimana dijelaskan di atas, berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh katagori
putusan negatif sehingga padanya tidak melekat kekuatan ne bis in idem.
1.
Putusan Pengguguran berdasarkan alasan
formil
Apabila penggugat
tidak hadir pada hari yang telah ditentukan tanpa alasan yang sah (unreasonable
default), maka sesuai ketentuan pasal 148 RBg/124 HIR, gugatan penggugat
dinyatakan gugur. Oleh karena putusan itu diambil dengan alasan formil yaitu
ketidakhadiran Penggugat yang berarti pula bahwa putusan tersebut bukan
mengenai pokok perkara, maka pada putusan tersebut tidak melekat kekuatan ne
bis in idem. Dengan demikian Penggugat dapat mengajukan gugatan kembali
sebagaimana ketentuan pasal 148 RBg/124
HIR dengan menghilangkan cacat-cacat formil yang terkandung pada gugatan
tersebut, meskipun putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
2. Putusan
atas dasar pencabutan gugatan
Apabila putusan
penggugaran sebagaimana diterangkan di atas dapat diajukan kembali sebagai
perkara baru, apakah demikian halnya dengan putusan atas dasar pencabutan dari Penggugat ?. Yahya Harahap, bahwa jawaban dan aturan terhadap masalah ini tidak
ditemukan, pedoman yang dianggap rasional dan praktis mengenai permaslahan yang
timbul dalam kasus pengajuan kembali gugatan yang telah dicabut adalah dengan
melihat dua hal sebabagi berikut.
a. Pencabutan tanpa persetujuan tergugat.
Apabila pencabutan gugatan dilakukan sebelum pemeriksaan pokok perkara di
persidangan, maka pencabutan itu tidak harus mendapat persetujuan dari
Tergugat. Bahkan Penggugat dapat melakukan pencabutan di luar persidangan
dengan bersurat kepada Pengadilan, kalaupun dicabut di dalam persidangan tidak
perlu mendapat persetujuan dari Tergugat. Dengan berpedoman pada ketentuan pasal
271 Rv, pencabutan gugatan yang belum
diperiksa tidak memerlukan persetujuan dari Penggugat. Karena perkara belum
diperiksa, maka kedudukan Tergugat belum diserang hak dan kepentingannya
karenanya tidak perlu persetujuan dari tergugat. Terhadap kondisi seperti ini,
yaitu pencabutan gugatan tanpa keharusan adanya persetujuan tergugat berakibat penggugat
dapat mengajukan kembali gugatannya sebagai perkara baru.
b. Pencabutan harus dengan persetujuan
tergugat. Apabila perkara telah diperiksa di dalam persidangan, maka pencabutan
harus dengan persetujuan tergugat. Sehingga pencabutan yang mengharuskan
persetujuan tergugat melekat di dalamnya kesepakatan antara kedua belah pihak.
Dengan demikian pada kondisi tersebut ketentuan pasal 154 RBg di mana suatu
putusan yang didasari kesepakatan antara kedua belah pihak tidak dapat
dibanding karena putusan tersebut bersifat final dan mengikat kepada penggugat
dan tergugat. Karena bersifat final dan mengikat, sengketa yang terkandung
dalam perkara tersebut tidak dapat diajukan kembali oleh para pihak.
C.
Penerapan Ne Bis In Idem Dalam Perkara
Perdata Agama
Sebagaimana telah
dijelaskan di atas, bahwa secara garis besar untuk menyatakan suatu putusan
memiliki kekuatan ne bis in idem atau tidak adalah dengan melihat apakah
putusan tersebut merupakan putusan positif atau putusan negatif. Ketentuan tersebut juga berlaku pada perkara-perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Namun disamping kedua hal tersebut,
untuk menyatakan suatu gugatan ne bis in idem atau tidak adalah dengan memahami
peraturan yang mendasari gugatan tersebut sehingga akan terlihat pengertian,
kewenangan, dan akibat hukum dari suatu obyek gugatan, demikian kaidah hukum
yang ditegaskan putusan Mahakamah Agung RI Nomor 213 K/TUN/2007.
Dengan demikian dalam perkara
perdata agama seperti perceraian yang pernah diajukan ke Pengadilan Agama dengan
alasan pertengkaran dan telah diputus ditolak, dengan putusan tersebut setatus
sengketa antara kedua belah pihak dengan dalil adanya pertengkaran dalam rumah
tangga telah tidak terbukti dan ditolak oleh Pengadilan. Jika merujuk pada
putusan Mahkamah Agung Nomor 213 K/TUN/2007 tersebut, para pihak yang
berkepentingan dapat mengajukan kembali gugatannya ke pengadilan dengan alasan
yang lain sebagaimana alasan-alasan yang tertuang pada pasal 19 huruf a sampai
dengan f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Apabila alasan lain tidak ada, bolehkah penggugat atau pemohon mengajukan
kembali gugatan yang sebelumnya ditolak pengadilan dengan alasan yang sama
karena telah adanya bukti ?.
Secara normatif, dengan merujuk
penjelasan-penjelasan di atas, maka putusan pengadilan terhadap penolakan
tersebut adalah putusan positif karena bertitik tolak dari pokok perkara,
karenanya telah memberikan setatus yang jelas terhadap sengketa yang ada pada perkara tersebut dan melekat
kekuatan ne bis in idem. Demikian juga dikemukakan Sudikno Mertokusumo dalam
hal penolakan tidak terbuka kesempatan untuk mengajukan gugatan tersebut kepada
Hakim yang sama (ne bis in idem). Sehingga
upaya yang dapat dilakukan adalah PK (peninjauan kembali).
Namun pendapat yang mengatakan bahwa
ne bis in idem tidak dapat diterapkan pada sengketa perkawinan dengan alasan
bahwa pertengkaran dan perselisihan yang menjadi alasan pengajuan perceraian
yang pertama adalah pertengkaran dan perselisihan yang tidak sama dengan yang
menjadi alasan pengajuan perceraian ke dua, meskipun label sama yaitu
pertengaran dan perselisihan, namun tidak sama pertengkaran dan perselisihan
yang dulu dengan yang sekarang, sehingga pengajuan kedua kalinya dengan alasan
tersebut dapat diterima.
Demikian pula halnya seorang suami
yang tidak mengikrarkan talaknya sampai melewati masa waktu 6 bulan, menurut
ketentuan pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, kekuatan penetapan izin ikrar talak menjadi gugur yang berarti bahwa
Pemohon tidak bisa mengikrarkan talaknya lagi. Akibatny adalah pemohon tidak
bisa lagi mengajukan permohonan cerai talak dengan alasan yang sama, apabila
kehidupan rumah tangga yang bersangkutan tetap tidak berubah dan bermasalah,
apakah masih tertutup bagi pemohon untuk mengajukan izin cerai untuk
keduakalinya ?
Pendapat tersebut senada dengan rumusan
hasil Rakernas Mahkamah Agung RI Bidang Agama tahun 2007 yang menyatakan “dalam
perkara sengketa perkawinan termasuk perkara hadhanah, tidak berlaku azas nebis
in idem sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110 K/AG/1992 tanggal
24 Juli 1993”
Dalam kasus perdata agama seperti sengketa
perkawinan, kita harus melihat dengan bijak, putusan hakim atau pengadilan disamping memenuhi azas kepastian
hukum dan keadilan, harus juga mempertimbangkan aspek manfaat dari putusan
tersebut, bukan hanya bertitik tolak pada bunyi pasal dan kata Undang-undang,
namun harus juga memperhatikan jiwa hukum yang hidup di masyarakat dan aspek
sosiologisnya. Tujuan dibuatnya undang-undang adalah untuk melindungi dan
memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Setelah berselang waktu setelah
putusan penolakan berkekuatan hukum tetap, kehidupan Pemohon dan Termohon masih
tetap saja tidak harmonis, dengan pertimbangan aspek manfaat dan sosiologis
maka apabila pemohon kembali pengajukan perkara dengan alasan yang sama, maka
akan lebih bijak jika permohonan pemohon diterima. Apabila permohonan tersebut
tidak diterima dengan alasa ne bis in idem, maka tidak akan membawa kebaikan
pada pemohon dan termohon.
Nebis in idem tidak tepat diterapkan
dalam kasus perdata agama sebagaimana diuraiakan di atas, karena seiring
berjalannya waktu fakta-fakta hukum yang mendasari alasan permohonan
tersebutpun berubah dan bertambah. Walaupun alasannya sama, tetapi kesamaan itu
terbatas pada nama atau istilah bukan kesamaan dalam peristiwa dan fakta.
D.
Kesimpulan dan Penutup
Ne bis in idem bertujuan melindungi seseorang
untuk digugat atau diadili untuk kedua kalinya dalam peristiwa atau suatu
perbuatan dimana peristiwa atau perbuatan tersebut telah diputus oleh Hakim,
sehingga berdasarkan putusan tersebut peristiwa atau perbuatan tersebut telah
memiliki setatus yang jelas.
Untuk menentukan suatu putusan nebis atau tidak,
harus melihat apakah putusan tersebut positif atau negatif, di samping itu
dengan memahami peraturan yang mendasari gugatan tersebut sehingga akan
terlihat pengertian, kewenangan, dan akibat hukum dari suatu obyek gugatan.
Di samping hal tersebut, maksud dan tujuan
dibuatnya undang-undang adalah untuk ketertiban dan kebaikan dalam masyarakat
dari segala aspeknya. Adalah tugas Hakim untuk menerapkan aturan-aturan tersebut
dengan sebijak mungkin bukan hanya bertitik tolak pada bunyi pasal dan kata Undang-undang,
melainkan harus juga memperhatikan jiwa hukum yang hidup dalam suatu masyarakat
serta aspek sosiologis, sehingga masyarakat mendapatkan yang terbaik. Demikian
semoga bermanfaat.
Sebagaimana rumusan hasil Rakernas
Mahkamah Agung RI Bidang Agama tahun 2007, dalam perkara sengketa perkawinan
termasuk perkara hadhanah, tidak berlaku azas nebis in idem sesuai
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor : 110 K/AG/1992 tanggal 24 Juli 1993.
Kupang, Juni 2013
E.
Referensi
1.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia offline versi 1.3 oleh Ebta Setiawan tahun 2010-2011
2.
Low
Dictionary oleh Martin Basiang, first edition, Tahun 2009
3.
KUHP
dan KUHAP oleh Dr. Andi Hamzah, S.H., edisi revisi Tahun 2008
4.
Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama ;
5.
Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI tahun 2010
6.
Pedoman
Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi.
7.
Hukum
Acara Perdata oleh M. Yahya Harahap, SH.
8.
Hukum
Acara Perdata Indonesia, Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
9.
Penerapan
Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Agama oleh Dr. H. Abdul Manan, SH.,
S.IP, M.Hum.
Para penggugat berdasarkan Akta Pengikatan untuk jual beli Notaris di saat tanah dalam sengketa,dan pihak yang rencana akan menjual kepadanya dalam pengikatan tersebut ternyata kalah dengan pihak lawannya telah di putus berkekuatan hukum tetap oleh KPN sebelumnya.setelah 10 tahun akta notaris tersebut menjadi alat bukti para penggugat untuk menggugat kembali pihak yang menang dalam putrusan sebelumnya tergugat I dan pihak yang kalah menjadi tergugat II terhadap obyek sengketa.
BalasHapusBagaimana menentukan dasar hukumnya,dalam gugatan perbuatan melawan hukum
Saya ingin bertanya apakah boleh mengajukan gugatan dengan objek yang sama tetapi terhadap orang yang berebeda?
BalasHapusContoh : A mengajukan gugatan ke B, dan keluar hasil putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Kemudian A mengajukan gugatan ke C (C adalah orang tua dari B), objek gugatannya sama.
Apakah boleh diajukan gugatan seperti itu?
Mohon jawabannya, terima kasih
saya mau tanya gugatan wanfrestasi setelah jawaban revlik tergugat , pengugat mencabut gugatannya dan sudah dputus ketetapan pengadilan ... dan setelah itu pengugat kembali mendaftar gugatannya dipengadilan yg sama , gugatan yg sama , objek yg sama ... pertanyaan saya apakah pengadilan menerima atau menolak?
BalasHapus