A. Pendahuluan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor : 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka, eksistensi Peradilan Agama sebagai
salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diamanatkan
oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kahakiman yang telah diubah dan ditambah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 menjadi semakin jelas dan kokoh.
Selanjutnya pasal 54 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam Undang-undang ini.
Dengan demikian segala ketentuan hukum
acara perdata yang berlaku pada Peradilan Umum berlaku pula pada Peradilan
Agama selama tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang ditegaskan pada pasal 106 (2) yang berbunyi “semua peraturan pelaksanaan yang telah ada
mengenai Peradilan Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru
berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini”.
Sebagaimana kita ketahui, sebelum
lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, telah pula
lahir Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan di mana aturan pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor : 9 Tahun 1975 yang menjadi salah satu sumber hukum materil
dan formil bagi Peradilan Agama. Undang-Undang tersebut merupakan Undang-Undang
yang memang dilahirkan untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
perkawinan dan perceraian serta bagaimana beracara di Pengadilan, selain
ketentuan peraturan perundangan-undangan yang menyangkut perdata umum seperti
HIR, R.Bg dan RV.
Satu hal yang penulis rasa menarik
untuk dikaji terkait acara perdata pada Pengadilan Agama adalah tentang perbedaan
cara memahami pasal 125 HIR/149 R.Bg. tentang putusan tidak hadir
atau verstek dikaitkan dengan pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
B. Putusan Verstek
Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan
oleh Majelis Hakim tanpa hadirnya Tergugat dan ketidakhadirannnya itu tanpa
alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara semi dan patut (default without
reason). Putusan verstek ini merupakan pengecualian dari acara persidangan biasa
atau acara kontradiktur dan prinsip audi et alteram partem sebagai akibat
ketidakhadiran ketidakhadiran Tergugat atas alasan yang tidak sah. Dalam acara
verstek Tergugat dianggap ingkar menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah
dan dalam hal ini Tergugat dianggap mengakui sepenuhnya secara murni dan bulat
semua dalil gugatan Penggugat. Putusan verstek hanya dapat dijatuhkan dalam hal
Tergugat atau para Tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.
Beberapa ketentuan hukum acara yang
mengatur pemeriksaaan perkara secara verstek (tidak hadir) antara lain :
Pasal 125 (1) HIR yang menyatakan “ Jika Tergugat tidak datang pada hari
perkara itu akan diperiksa atau tidak menyuruh orang lain menghadap
mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima
dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada Pengadilan Negeri, bahwa
pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan”(Rbg : 149).
Masih terkait dengan pasal 125 HIR/149
R.Bg, pasal 126 HIR menyatakan “di dalam hal
yang tersebut pada kedua pasal di atas tadi, Pengadilan Negeri dapat, sebelum
menjatuhkan keputusan, memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil
buat kedua kalinya, datang menghadap pada hari persidangan lain, yang
diberitahukan oleh ketua di dalam persidangan kepada pihak yang datang, bagi
siapa pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan” (R.Bg. 150)
Terkait dengan pasal-pasal tersebut,
terdapat beberapa pendapat bagaimana perkara verstek itu diacarakan. Pendapat
Pertama menyatakan bahwa apabila pada hari sidang yang pertama Tergugat atau
Termohon tidak hadir, sedangkan ia telah dipanggil dengan resmi dan patut,
serta tidak pula mengirim wakilnya untuk menghadap, maka berdasarkan ketentuan
tersebut, Majelis dapat memeriksa dan memutus perkara tersebut tanpa kehadiran Tergugat
atau Termohon. Jika perkara tersebut tidak diputus pada hari itu juga, maka
majelis dapat menunda sidang tanpa harus memanggil ulang Termohon.
Sementara pendapat kedua menyatakan
bahwa, apabila pada hari sidang yang pertama Tergugat atau Termohon tidak
hadir, sedangkan ia telah dipanggil dengan resmi dan patut, serta tidak pula
mengirim wakilnya untuk menghadap, maka berdasarkan ketentuan tersebut, Majelis
dapat memeriksa dan memutus perkara tersebut tanpa kehadiran Termohon. Jika
perkara tersebut tidak diputus pada hari itu juga, maka majelis dapat menunda
sidang dengan keharusan memanggil ulang Termohon.
Pendapat kedua ini menyandarkan
pendapatnya pada ketentuan pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 yang berbunyi “Setiap kali diadakan
sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik Penggugat maupun
Tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut”,
karena ketentuan tersebut merupakan ketentuan khusus dalam bidang perkawinan yang
diberlakukan pada Peradilan Agama.
C. Pembahasan
Dari kedua pendapat tersebut, penulis
lebih cendrung pada pendapat yang pertama, meskipun Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 merupakan sumber hukum acara yang khusus bagi Peradilan Agama
sebagaimana pembelaan bagi yang memegang pendapat ke dua sesuai asas leg specialis derogat leg generalis,
namun menurut penulis hal itu kurang tepat. Peraturan Pemerintah Nomor 9
tersebut selain perkara ghoib, tidak specifik mengatur tentang verstek, yang
dimaksud pasal tersebut adalah perkara yang Penggugat/Pemohon dan
Tergugat/Termohon hadir pada sidang pertama, sehingga pasal tersebut tidak
mengikat pada perkara verstek. Karena karena verstek tidak diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersebut, maka ketentuan umum tentang verstek yang
terdapat dalam HIR dan R.Bg. tetap berlaku
pada Peradilan Agama.
Selanjutnya pendapat kedua menambahkan
bahwa, kata-kata “Jika Tergugat tidak
datang pada hari perkara itu akan diperiksa atau tidak menyuruh orang lain
menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu
diterima dengan tak hadir (verstek),” dimaknai apabila gugatan itu
diperiksa dan dikabulkan pada hari itu juga atau sidang pertama tanpa adanya
penundaan, jika ada penundaan yang tidak memungkinkan perkara tersebut diputus pada
hari itu juga yang mungkin disebabkan karena kurangnnya alat bukti dan
sebagainya maka Tergugat harus dipanggil lagi.
Perlu ditegaskan bahwa kata dikabulkan
tanpa kehadirannya tidak bermakna harus pada hari itu juga, akan tetapi putusan
verstek itu dapat juga diberikan pada hari sidang berikutnya
Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan
Surat Edaran Nomor 9 Tahun 1964, memberikan penjelasan bahwa, menurut pasal 125
HIR apabila Tergugat, meskipun telah dipanggil secara sah, akan tetapi tidak
hadir, maka hakim dapat
1. Menjatuhkan
putusan verstek atau,
2. Menunda
pemeriksaan – (berdasarkan pasal 126 HIR)- dengan perintah memanggil Tergugat
sekali lagi,
3. Kemudian apabila dalam
sub-B Tergugat tidak dapat lagi, maka hakim dapat memanggil Tergugat sekali
lagi ;
4.
Pendapat yang dimaksud pada sub-C ditentang
dengan alasan bahwa dalam pasal 125 HIR dimuat perkataan-perkataan : ”ten dage dienende”, yang berarti “hari sidang pertama”. Akan tetapi alasan
itu tidak kuat, dari sebab perkataan-perkataan : ”ten dage dienende” dapat berarti juga : “ten dage dat zaak dient”, dan dalam hal ini “hari ini” dapat berarti tidak saja hari sidang ke-1, akan tetapi
juga hari sidang ke-2 dan sebagainya.
D. Kesimpulan
Kehadiran Penggugat dan Tergugat pada
hari sidang pertama sangat menentukan acara yang akan diterapkan Majelis dalam
suatu perkara. Oleh karena itu ketika Tergugat tidak hadir pada hari sidang
yang pertama, sangat tergantung pada Hakim apakah akan menunda pemeriksaan atau
melanjutkan pemeriksaan tanpa hadir atau verstek.
Ketika Hakim pada hari sidang yang
pertama, setelah melihat relaas panggilan Tergugat yang resmi dan patut
menyatakan melanjutkan pemeriksaan tanpa hadir, maka ketentuan verstek
sebagaimana pasal 125 HIR tersebut dapat diterapkan.
Namun ketika pada hari sidang pertama
Hakim menyatakan menunda pemeriksaan terhadap perkara tersebut, maka ini adalah
hal yang berbeda.
M. Fauzan dalam Pokok-Pokok Hukum
Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia menulis bahwa
panggilan ke dua kali dalam perkara verstek merupakan panggilan toleransi.
Sebagai penutup, bahwa sebagaimana
Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 9 Tahun 1964 tersebut, “hari ini” dapat
berarti tidak saja hari sidang ke-1 akan
tetapi juga hari sidang ke-2 dan sebagainya.
Namun walaupnun
hukum acara memberikan jalan sebagaimana diterangkan di atas, penerapannya
tidak musti demikian, hal tersebut sangat bergantung kepada penilaian dan
nurani Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Terima kasih semoga bermanfaat...
E. Referensi
1.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama ;
2.
Ke Arah Pembaharuan Hukum Acara Perdata Dalam
Sema dan Perma oleh : Drs. H. Ahmad Kamil, SH, M.Hum dan Drs. H. M. Fauzan SH.,
MM., MH.
3.
Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia oleh Drs. H. M. Fauzan SH., MM.
4.
Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi
Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar