Senin, 09 Juli 2012

ACARA VERSTEK DALAM PRAKTEK PERADILAN AGAMA

A.   Pendahuluan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor : 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka, eksistensi Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kahakiman yang telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor : 48 Tahun 2009 menjadi semakin jelas dan kokoh.
Selanjutnya pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyatakan “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.
Dengan demikian segala ketentuan hukum acara perdata yang berlaku pada Peradilan Umum berlaku pula pada Peradilan Agama selama tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang Nomor : 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang ditegaskan pada pasal 106 (2) yang berbunyi “semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan Agama dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang  ini”.
Sebagaimana kita ketahui, sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, telah pula lahir Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974  Tentang Perkawinan di mana aturan pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 9 Tahun 1975 yang menjadi salah satu sumber hukum materil dan formil bagi Peradilan Agama. Undang-Undang tersebut merupakan Undang-Undang yang memang dilahirkan untuk mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan dan perceraian serta bagaimana beracara di Pengadilan, selain ketentuan peraturan perundangan-undangan yang menyangkut perdata umum seperti HIR, R.Bg dan RV.
Satu hal yang penulis rasa menarik untuk dikaji terkait acara perdata pada Pengadilan Agama adalah tentang perbedaan cara memahami pasal 125 HIR/149 R.Bg. tentang putusan tidak hadir atau verstek dikaitkan dengan pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor  9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

B.   Putusan Verstek
Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim tanpa hadirnya Tergugat dan ketidakhadirannnya itu tanpa alasan yang sah meskipun telah dipanggil secara semi dan patut (default without reason). Putusan verstek ini merupakan pengecualian dari acara persidangan biasa atau acara kontradiktur dan prinsip audi et alteram partem sebagai akibat ketidakhadiran ketidakhadiran Tergugat atas alasan yang tidak sah. Dalam acara verstek Tergugat dianggap ingkar menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah dan dalam hal ini Tergugat dianggap mengakui sepenuhnya secara murni dan bulat semua dalil gugatan Penggugat. Putusan verstek hanya dapat dijatuhkan dalam hal Tergugat atau para Tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama.
Beberapa ketentuan hukum acara yang mengatur pemeriksaaan perkara secara verstek (tidak hadir) antara lain :
Pasal 125 (1) HIR yang menyatakan “ Jika Tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa atau tidak menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada Pengadilan Negeri, bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan”(Rbg : 149).
Masih terkait dengan pasal 125 HIR/149 R.Bg, pasal 126 HIR menyatakan “di dalam hal yang tersebut pada kedua pasal di atas tadi, Pengadilan Negeri dapat, sebelum menjatuhkan keputusan, memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil buat kedua kalinya, datang menghadap pada hari persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua di dalam persidangan kepada pihak yang datang, bagi siapa pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan” (R.Bg. 150)
Terkait dengan pasal-pasal tersebut, terdapat beberapa pendapat bagaimana perkara verstek itu diacarakan. Pendapat Pertama menyatakan bahwa apabila pada hari sidang yang pertama Tergugat atau Termohon tidak hadir, sedangkan ia telah dipanggil dengan resmi dan patut, serta tidak pula mengirim wakilnya untuk menghadap, maka berdasarkan ketentuan tersebut, Majelis dapat memeriksa dan memutus perkara tersebut tanpa kehadiran Tergugat atau Termohon. Jika perkara tersebut tidak diputus pada hari itu juga, maka majelis dapat menunda sidang tanpa harus memanggil ulang Termohon.
Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa, apabila pada hari sidang yang pertama Tergugat atau Termohon tidak hadir, sedangkan ia telah dipanggil dengan resmi dan patut, serta tidak pula mengirim wakilnya untuk menghadap, maka berdasarkan ketentuan tersebut, Majelis dapat memeriksa dan memutus perkara tersebut tanpa kehadiran Termohon. Jika perkara tersebut tidak diputus pada hari itu juga, maka majelis dapat menunda sidang dengan keharusan memanggil ulang Termohon.
Pendapat kedua ini menyandarkan pendapatnya pada ketentuan pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang berbunyi “Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik Penggugat maupun Tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut”, karena ketentuan tersebut merupakan ketentuan khusus dalam bidang perkawinan yang diberlakukan pada Peradilan Agama.

C.   Pembahasan
Dari kedua pendapat tersebut, penulis lebih cendrung pada pendapat yang pertama, meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 merupakan sumber hukum acara yang khusus bagi Peradilan Agama sebagaimana pembelaan bagi yang memegang pendapat ke dua sesuai asas leg specialis derogat leg generalis, namun menurut penulis hal itu kurang tepat. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tersebut selain perkara ghoib, tidak specifik mengatur tentang verstek, yang dimaksud pasal tersebut adalah perkara yang Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon hadir pada sidang pertama, sehingga pasal tersebut tidak mengikat pada perkara verstek. Karena karena verstek tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut, maka ketentuan umum tentang verstek yang terdapat dalam HIR dan R.Bg. tetap berlaku pada Peradilan Agama.
Selanjutnya pendapat kedua menambahkan bahwa, kata-kata “Jika Tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa atau tidak menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tak hadir (verstek),” dimaknai apabila gugatan itu diperiksa dan dikabulkan pada hari itu juga atau sidang pertama tanpa adanya penundaan, jika ada penundaan yang tidak memungkinkan perkara tersebut diputus pada hari itu juga yang mungkin disebabkan karena kurangnnya alat bukti dan sebagainya maka Tergugat harus dipanggil lagi.
Perlu ditegaskan bahwa kata dikabulkan tanpa kehadirannya tidak bermakna harus pada hari itu juga, akan tetapi putusan verstek itu dapat juga diberikan pada hari sidang berikutnya
Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 1964, memberikan penjelasan bahwa, menurut pasal 125 HIR apabila Tergugat, meskipun telah dipanggil secara sah, akan tetapi tidak hadir, maka hakim dapat
1.    Menjatuhkan putusan verstek atau,
2.    Menunda pemeriksaan – (berdasarkan pasal 126 HIR)- dengan perintah memanggil Tergugat sekali lagi,
3.    Kemudian apabila dalam sub-B Tergugat tidak dapat lagi, maka hakim dapat memanggil Tergugat sekali lagi ;
4.    Pendapat yang dimaksud pada sub-C ditentang dengan alasan bahwa dalam pasal 125 HIR dimuat perkataan-perkataan : ”ten dage dienende”, yang berarti “hari sidang pertama”. Akan tetapi alasan itu tidak kuat, dari sebab perkataan-perkataan : ”ten dage dienende” dapat berarti juga : “ten dage dat zaak dient”, dan dalam hal ini “hari ini” dapat berarti tidak saja hari sidang ke-1, akan tetapi juga hari sidang ke-2 dan sebagainya.


D.   Kesimpulan
Kehadiran Penggugat dan Tergugat pada hari sidang pertama sangat menentukan acara yang akan diterapkan Majelis dalam suatu perkara. Oleh karena itu ketika Tergugat tidak hadir pada hari sidang yang pertama, sangat tergantung pada Hakim apakah akan menunda pemeriksaan atau melanjutkan pemeriksaan tanpa hadir atau verstek.
Ketika Hakim pada hari sidang yang pertama, setelah melihat relaas panggilan Tergugat yang resmi dan patut menyatakan melanjutkan pemeriksaan tanpa hadir, maka ketentuan verstek sebagaimana pasal 125 HIR tersebut dapat diterapkan.
Namun ketika pada hari sidang pertama Hakim menyatakan menunda pemeriksaan terhadap perkara tersebut, maka ini adalah hal yang berbeda.
M. Fauzan dalam Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia menulis bahwa panggilan ke dua kali dalam perkara verstek merupakan panggilan toleransi.
Sebagai penutup, bahwa sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 9 Tahun 1964 tersebut, “hari ini” dapat berarti tidak saja  hari sidang ke-1 akan tetapi juga hari sidang ke-2 dan sebagainya.
Namun walaupnun hukum acara memberikan jalan sebagaimana diterangkan di atas, penerapannya tidak musti demikian, hal tersebut sangat bergantung kepada penilaian dan nurani Hakim yang memeriksa perkara tersebut. Terima kasih semoga bermanfaat...

 E.    Referensi
1.      Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama ;
2.      Ke Arah Pembaharuan Hukum Acara Perdata Dalam Sema dan Perma oleh : Drs. H. Ahmad Kamil, SH, M.Hum dan Drs. H. M. Fauzan SH., MM., MH.
3.      Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia oleh Drs. H. M. Fauzan SH., MM.
4.      Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama Buku II Edisi Revisi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar